Sebuah renungan bencana alam

Bencana alam yang terjadi akhir – akhir ini disadari atau tidak tentulah akibat keangkuhan manusia akan teknologinya dan lebih menuhankan “logika” daripada “Tuhan” itu sendiri. Fenomena-fenomena alam pun disepelekan dan lebih mengandalkan logika dan teknologi yang lebih bersifat materil. Inilah jadinya jika kita lebih mengedepankan logika dan teknologi daripada kita menyadari bahwa kita sebagai seorang manusia sebagai bagian dari alam. Pernahkah kita terpikir bagaimana orang-orang dulu dapat membangun pyramid tanpa bantuan teknologi, atau membangun candi Borobudur yang sungguh menakjubkan dan artistic, tentu saja sampai saat ini logika kita tidak mampu untuk memecahkan hal tersebut. Manusia yang katanya “modern” dan berada pada zaman paling “maju” hanya bisa menebak dan menerka-nerka sesuai dengan persepsi masing-masing.
Apakah teknologi mampu mencagah banjir? Apakah teknologi mampu mencegah gempa? Apakah teknologi mampu mencegah gunung berapi yang meletus?
Tentunya sains dan teknologi hanya bisa menganalisis dan mencari sebab-sebab peristiwa alam tanpa bisa mencegahnya.
Terlepas dari cerita rakyat dan mitos yang beredar di mayarakat, seyogyanya kita bisa bijaksana dalam mencermati fenomena – fenomena alam yang saat ini terjadi. Bukannya kita harus mempercayai atau tidak mempercayai mitos-mitos tersebut, tapi ambilllah dari segi positif bahwa mitos-mitos tersebut tercipta agar kita bisa menghargai alam dan menjaganya serta menjaga keseimbangan alam ini.
Dewasa ini kehidupan modern cenderung tidak menghargai alam dan justru malah merusaknya. Manusia modern terlalu angkuh dengan kemajuan teknologi yang dipunyai sehingga cenderung menafikan keberadaan alam. Manusia modern begitu “anti” terhadap hal-hal yang bersifat tahayul dan mistis, bahkan “membodohkan” masyarakat yang percaya pada hal-hal yang bersifat tahayul dan mistik. Disinialah kita bisa lihat arogansi “manusia modern” yang seolah-olah hidup sendiri di dunia ini tanpa mempedulikan kehidupan lain disekitarnya. Mempercayai hal-hal tahayul dan mistis tidak selamanya membawa kita kepada “kemusrikan” jika kita lebih bijak dalam menanggapinya. Jika ada orang yang mengatakan percaya pada tahayul dan mistis adalah musrik terus apa bedanya jika kita tidak percaya pada hal tersebut tetapi lebih menuhankan sains dan teknologi (logika) dari pada Tuhan itu sendiri?
Bukannya penulis ingin mengajak pembaca untuk percaya pada hal-hal yang bersifat mistis atau tahayul, percaya atau tidak itu hak pembaca. Tapi tentunya kita harus percaya pada hal yang bersifat ghaib. Tetapi marilah kita sadari tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika dan sains, tidak semua hal bisa ditemukan dalam sains. Ada banyak hal yang tidak bisa dipecahkan dengan arogansi logika. Mungkin selama ini kita begitu terbuai dan dibutakan oleh hal-hal yang lebih bersifat materiil dan mengesampingkan hal gaib. Bukankah “Tuhan” bersifat ghaib? Bukankah kehendak-Nya juga bersifat Ghaib? Marilah kita sama-sama lihat diri kita masing-masing istilahnya saatnya kita ber “muhashabah” . Marilah kembali kita sadari kita hanyalah manusia biasa yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kuasa-Nya. Marilah kembali kita kepada Fitrah kita sebagai khalifah di bumi yang seyogyanya menjaga bumi ini bukan malah menghancurkannya serta menjaga ritme keharmonisan alam. Cobalah kembali kita renungkan “Untuk apa kita kita diciptakan di bumi ini?