Dari Bangku Cadangan Pemain
Setiap legenda mempunyai cerita dimana pada suatu hari yang cerah, tepatnya 1 November 1897, sekelompok pemuda dari daerah Liceo D’Azeglio yang tengah duduk di bangku pemain di Corso Re Umberto memutuskan untuk membentuk tim olah raga dengan berfokus kepada permainan sepakbola. Mereka ini hanyalah sekelompok anak-anak yang saling berteman dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama dan bersenang-senang serta melakukan berbagai hal positif. Lalu, mereka merencanakan untuk bermain sepakbola di sebuah taman besar bernama Piazza d’Armi, dimana tempat ini biasa digunakan untuk lari dan berkuda. Selain itu, karena tempatnya yang cukup luas, tidak sulit bagi mereka untuk menemukan tempat bermain sepakbola di sana.
Itulah kira-kira gambaran kisah yang diceritakan oleh salah satu pendiri klub, Enrico Canfari: “Kami dulu menganggap perlu untuk bentuk sebuah tim dan kami memutuskan hal itu saat musim salju di tahun 1897.” Itulah kira-kira kisah awal terbentuknya Juventus, walau kisahnya sedikit kurang jelas, mungkin dikarenakan markas Canfari bersaudara di 42 Corso Re Umberto, tempat awal pertemuan memang sangat gelap.;. Usia mereka rata-rata 15 tahunan, yang tertua berumur 17 dan lainnya di bawah 15 tahun. Setelah itu, hal yang mungkin tidak jadi masalah sekarang ini tapi merupakan hal yang terberat bagi pemuda-pemuda tersebut saat itu ialah:mencari markas baru! Canfari bersaudara memutuskan untuk mencarinya sendiri dan akhirnya mereka menemukan salah satu tempat; sebuah bangunan yang memiliki halaman yang dikelilingi tembok, mempunyai 4 ruangan, sebuah kanopi dan juga loteng dan keran air minum.
Canfari, Ketua Pertama
Selanjutnya, Canfari menceritakan tentang bagaimana terpilihnya nama klub, segera setelah mereka menemukan markas baru. Akhirnya, tibalah pertemuan untuk menentukan nama klub dimana terjadi perdebatan sengit di antara mereka. Di satu sisi, pembenci nama latin, di sisi lain penyuka nama klasik dan sisanya netral. Lalu, diputuskanlah tiga nama untuk dipilih; “Societa Via Port”, “Societa sportive Massimo D’Azeglio “, dan “Sport Club Juventus”. Nama terakhir belakangan dipilih tanpa banyak keberatan dan akhirnya resmilah nama klub mereka menjadi “Sport Club Juventus”.
Eugenio Canfari, kakak dari Enrico Canfari yang mengisahkan kepada kita asal-usul klub di atas. Setelah itu, markas klub berpindah tempat di Via Piazzi 4, distrik Crocetta, sebuah bangunan dengan 3 ruangan.
1898 - 1905 DARI MULAI TERBENTUK HINGGA SCUDETTO PERTAMA
Seragam Merah Jambu
Juventus akhirnya resmi terbentuk. Sekali lagi, Enrico Canfari menceritakan kenangannya saat memainkan pertandingan pertamanya. Torino FC, klub sekota mengundang mereka melakukan pertandingan persahabatan. Awalnya, mereka tidak mengira sebuah klub terkenal mengajak mereka bertanding, namun pertandingan akhirnya dilaksanakan. Hasilnya bisa ditebak, tim Juve kalah telak! Namun permainan individual - karena mereka fokus berlatih dengan bola secara individu - mereka dipuji lawan. Segera setelah melalui pertandingan pertama, juga telah menemukan susunan sebelas pemain tetap, mereka mulai mulai rutin bertanding sampai pada suatu waktu mereka membentuk sebuah turnamen untuk membuktikan kapasitas mereka di Turin. Akan tetapi, masalahnya mereka saat itu belum mempunyai seragam klub. Selain itu, sulit untuk memilih bahan yang akan dipakai, apakah terbuat dari katun, flannel, atau wol. Sampai pada akhirnya, mereka memilih memakai kostum dari bahan katun tipis dan halus berwarna merah jambu yang mereka kenakan hingga tahun 1902, kostum yang terlupakan seiring berjalannya waktu.
Di tahun 1899, klub berganti nama menjadi Juventus Football Club. Mulai tahun 1900, mereka ambil bagian dari liga professional. Pertandingan resmi pertama mereka adalah saat kalah dari FC Torino pada tanggal 11 Maret. Di tahun 1901, mereka berhasil mencapai semifinal dan di tahun 1903 dan 1904, mereka kalah dari Genoa di final.
Juara Italia
Tahun 1905 adalah momen ajaib bagi tim biru-hitam-warna dari seragam klub yang mengadopsi warna Klub Inggris, Nottingham, yang popular sampai sekarang. Durante berada di posisi penjaga gawang; Armano dan Mazzia di posisi bek sayap; Walty, Goccione, dan Diment sebagai bek tengah; Barberis, Varetti, Forlano, Squire, dan Donna berada di baris penyerangan. Setelah menjuarai grup Piedmont, mereka kandaskan Milan dua kali dan menahan seri Genoa, yang hanya bermain imbang dengan Milan, untuk menjadi juara Italia dan berada di atas tim-tim dari daerah Liguria. Pada waktu itu istilah scudetto belum diperkenalkan, namun Federasi Sepakbola Italia memberi mereka pelat juara.
Alfred Dick adalah pimpinan klub saat itu sekaligus sebagai penyandang dana. Secara keseluruhan tim menjadi lebih kuat, sebagian besar akibat pengaruh pemain asing yang bekerja di pabrik tekstil miliknya. Tim ini hampir saja memenangi title kedua di tahun 1906, namun mereka tidak bersedia tampil di final melawan Milan sebagai bentuk protes mereka karena pertandingan tersebut dilakukan di Milan bukan di tempat netral seperti keinginan mereka. Selain itu, banyaknya pemain asing di tim membuat suasana kurang harmonis dan kepemimpinan Dick mulai dipertanyakan hingga ia memutuskan untuk hijrah ke Torino serta membawa beberapa pemain yang menjadi teman dekat dirinya.
1906 - 1923 SEBELUM DAN SESUDAH MASA PERANG DUNIA I
Tahun-tahun sulit
Setelah merengkuh gelar pertama, dimulailah masa-masa sulit bagi klub. Chairman Dick meninggalkan posisinya diikuti para pemain asing mereka yang memaksa klub merevisi target. Saat itu, keadaan klub sangat buruk dan mereka juga kedatangan lawan tangguh baru yaitu tim Pro Vercelli dan Casale. Kedua klub tersebut menjadi lawan menakutkan dan saling bersaing merebut posisi teratas. Musim 1913/1914 adalah musim terakhir sebelum masa Perang Dunia I. Musim selanjutnya lebih buruk dimana pada musim itu kompetisi ditunda pada 23 Mei 1915 karena Italia ikut ambil bagian dalam perang.
Majalah “Hurra Juventus” diterbitkan
Beberapa pemain dan official juga terjun dalam perang antar Negara itu dan kebanyakan dari mereka gugur atau menghilang. Untuk tetap mengetauhi keberadaan mereka, dibuatlah majalah “Hurra Juventus” yang ditulis oleh seorang editor, Corradino Corradini. Sampul majalah memperlihatkan moto: “Kemenangan akan menjadi milik yang terkuat dan percaya akan kekuatannya.”
Perang berakhir pada 11 November 1918 dan klub kehilangan beberapa pilar penting dalam perang itu namun keinginan untuk menang masih tetap hidup. Pada 12 Oktober 1912, klub kembali ke lapangan pertandingan untuk mengikuti kompetisi liga. Saat itu, Juventus diperkuat sang kiper, Giacone-yang tidak lama kemudian dipanggil masuk ke timnas Italia-kiper legendaris yang merupakan pemain Juventus pertama dalam sejarah yang dipanggil timnas Italia. Selain kiper, ada dua full back, Novo dan Bruna yang mempelopori duet bek tangguh dan diikuti oleh duet lainnya mulai dari Rosetta-Caligaris sampai Foni-Rava. Selain mereka, kekuatan tim juga bergantung kepada determinasi yang diperlihatkan Bona dan Giriodi. Semua pemain tersebut memberi kekuatan pada tim untuk meraih hasil maksimal, seperti kemenangan atas Casale pada 7 Maret 1920. Selain itu, mereka juga berhasil meraih hasil maksimal saat mengalahkan Genoa pada babak final Grup Utara, pada 16 Mei yang ditandai dengan hattrick dari Bona walau saat itu mereka tidak berhasil menjuarai Liga yang jatuh ke tangan Internazionale.
Debut Combi
Selanjutnya, orang-orang mulai membicarakan sepakbola sebagai fenomena baru olah raga. Para pendukung antusias mendukung klub walau hasil pertandingan tidak sesuai keinginan mereka. Di tahun 1921, klub tereliminasi pada fase pertama grup bahkan pada 1922 dan 1933, klub berada pada posisi klasemen yang buruk di Grup Utara. Namun semua itu perlahan-lahan mulai berubah. Adalah Marchi II, seorang mantan pemain yang pensiun dan menjadi pelatih karena alasan kesehatan, menemukan sesuatu yang hebat. Hal itu terjadi saat ia menyaksikan sebuah pertandingan junior dan terkesima dengan penampilan seorang kiper. Namanya: Giampiero Combi! Segera setelah itu, ia direkrut dan pada umur 18 tahun di tahun 1923, ia telah berhasil masuk sebagai tim inti.
1923 - 1929 AWAL TAHUN ’20-AN DAN GELAR KEDUA
Presiden klub Edoardo Agnelli
Pada 24 Juli 1923 Edoardo Agnelli, anak dari pendiri FIAT, terpilih sebagai presiden klub. Pada masa itu, klub mempunyai lapangan sepakbola pribadi selama kurun waktu setahun yang terletak di Corso Marsiglia, lengkap dengan tempat duduk terbuat dari batu bata. Tim menjadi lebih kuat dari sebelumnya dimana tim kedatangan bek hebat, Viri Rosetta dari Pro Vercelli. Tim terdiri dari kiper Combi, winger Munerati, Gabbi dan Bigatto, dan seorang penyerang tengah lincah Pastore (yang akhirnya beralih profesi menjadi aktor). Sementara itu, klub pertama kali dalam sejarah ditangani seorang manajer yaitu Jeno Karoly yang berasal dari Hungaria.
Scudetto Kedua
Manajer Karoly boleh saja sebagai dalang dari kesuksesan klub, namun aktor penting dibalik itu semua ada pada diri seorang pemain Hungaria, Hirzer. Selain itu, dalam perebutan title melawan Bologna, Juve harus memainkan partai ulang setelah di dua partai final sebelumnya kedua tim bermain seri. Pada 2 Agustus bertempat di Milan, Juve akhirnya berhasil memenangi gelar setelah menglahkan Bologna 2-1. Namun kegembiraan tidak berlangsung lama karena beberapa hari sebelumnya, Karoly, sang manajer meninggal dunia secara mengejutkan karena serangan jantung.
Dari Hirzer ke Orsi
Musim selanjutnya berjalan hampir mirip dengan musim sebelumnya. Setelah beberapa kali memetik kemenangan, namun akibat penampilan buruk di semifinal group, Juve terpaksa merelakan posisi pertama kepada Torino. Selain itu, Juve juga kehilangan sang aktor, Hirzer, akibat terganjal peraturan liga. Masuknya Cavenini III, yang sebelumnya cemerlang bersama Inter tidak banyak membantu karena usianya yang sudah uzur. Walau penampilan mereka tidak bisa dibilang jelek, Juve tetap saja tidak mampu menyaingi keperkasaan Bologna dan Inter Milan di 2 musim berikutnya.
Pada akhir tahun 20-an, Liga Serie A berubah format menjadi 1 grup. Ini membuat sepakbola menjadi semakin kompetitif dan dampaknya bagi Juve sangat signifikan. Mereka melihat ini sebagai peluang untuk kembali ke persaingan juara. Untuk itu, mereka menambah beberapa amunisi baru seperti, Caligaris, Cesarini, dan Raimundo Orsi. Nama terakhir merupakan pemain kelahiran Argentian namun mempunyai darah Italia dan ia terkenal setelah bermain bagus bersama timnas di ajang Olimpiade.
1930 - 1935 LIMA TITEL BERUNTUN (1930 - 1935)
Bergabungnya Ferrari, Vecchina dan Varglien II
Dalam rentang periode antara 1930-1935, sepakbola Italia menjadi saksi lahirnya sebuah klub yang mampu memenangi 5 gelar scudetto berturut-turut: Juventus. Tim ini menjadi legenda se-antero Italia dengan sebutan “Italy’s girlfriend”. Di bawah kepemimpinan Agnelli dan wakilnya, Baron Giovanni Mazzonis di Pralafera, Juve menjelma menjadi klub populer. Perubahan format kompetisi menjadi 1 grup (Liga Serie A) membawa perubahan signifikan bagi sepakbola Italia, pun bagi Juve. Dengan skuad yang terdiri dari beberapa pemain hebat seperti; Mumo Orsi, Cesarini, Varglien, Giovanni Ferrari, Vecchina dan trio legendaries Combi-Rosetta-Caligaris, Juve menjadi tim solid yang siap menyaingi keperkasaan Ambrosiana Inter (nama lama Inter Milan).
Di musim beikutnya, Juve melesat sendirian memimpin klasemen. Salah satu kejutan terbesar ialah saat mereka kalah 0-5 dari Roma pada 15 Maret 1931. Namun, tim segera melupakan kekalahan tersebut dan berhasil bangkit berhasil meraih titel juara setelah sebelumnya mengalahkan Inter di Turin.
Monti: sang penguasa pertahanan
Musim selanjutnya, tim di bawah asuhan manajer Carcano hanya perlu sedikit perubahan karena tim yang sudah ada tetap solid. Di lain pihak, Juve berhasil mendatangkan pemain anyar berposisi bek sayap: Luisito Monti. Dengan karakter pekerja keras dan tangguh, Monti menjelma menjadi salah satu bek tertangguh di Serie A musim ini. Di sisi lain, Juve menghadapi perlawanan ketat dari tim lain yang menjadikan mereka tim yang harus dikalahkan. Perlahan tapi pasti, mereka mulai menemukan bentuk permainan terbaik dan berhasil menduduki posisi pertama klasemen. Sementara itu, dalam pertandingan penting melawan Inter pada 17 Januari 1932, Oris dkk. berhasil memukul telak lawannya 6-2 dilanjutkan dengan membantai Roma 7-1 pada 6 Maret 1932. dan, pada 1 Mei , kemenangan 3-2 atas Bologna membawa Juve merebut scudetto 2 musim berturut-turut dan Orsi menjadi top skorer Liga dengan 20 golnya.
Musim berikutnya, Juve merekrut bek Bertolini dan pemain sayap Sernagiotto. Namun, pemain yang paling menyita perhatian muncul dari tim junior mereka: Felice Placido “Farfallino” Borel. Penyerang ini selalu membuat gol-gol penting bagi timnya dan di musim ini Juve berhasil finish di posisi pertama dengan 54 poin. Borel sendiri bermain fantastis dengan rekor 29 gol dalam 28 penampilan yang belum dapat disamakan hingga saat ini.
Stadion Baru dan gelar lanjutan
Musim 1933/1934, Juve sekali lagi sukses merebut scudettonya yang ke-empat secara beruntun dengan kontribusi Borel yang mencetak 31 gol dan 4 poin di atas Inter. Gelar di musim ini juga terasa lebih bermakna karena pesaing utama, Inter, merupakan tim terkuat saat itu termasuk bagi Juve yang tidak bisa mengalahkan mereka dalam duel langsung. Sementara itu, pada Februari 1934, Juve mempunyai stadion baru: New Comunale Stadium.
Terakhir, di musim 1934/1935, Juve merebut gelar scudettonya yang kelima beruntun bersamaan dengan Italia yang menjadi juara Piala Jules Rimet. Gelar terakhir dalam 5 tahun ini sayangnya tidak bisa dinikmati Combi yang telah gantung sepatu.
1935 - 1949 SEBELUM DAN SESUDAH PERANG DUNIA II
Musim 1937/1938, Juve bersama trio pertahanan mereka; Amoretti-Foni-Rava berjuang merebut titel dari Inter namun mereka akhirnya harus puas menjadi runner-up. Di musim ini mereka sukses menjuarai Piala Italia pertama mereka setelah di final mengalahkan Torino.
Debut Parola
Selanjutnya, setelah musim berikutnya bermain buruk dan hanya finish di posisi 8, Juve berhasil memperbaiki posisi menjadi ketiga di musim selanjutnya. Salah satu hal yang penting di musim ini adalah debut dari salah seorang pemain muda mereka yang berposisi bek: Carlo Parola. Setelah berada di posisi 6 musim 1940/1941, mereka merebut Piala Italia kedua mereka di musim berikutnya. Di periode ini, Italia ikut Perang Dunia II dan ini membuat jalannya Liga menjadi terhambat.
Liga pada masa Perang
Sepakbola Italia terus berlangsung saat masa perang berjalan. Pada 1944, Juve ikut serta dalam sebuah turnamen lokal, yang akhirnya urung diselesaikan. Pada 14 Oktober, Liga kembali bergulir dan ditandai dengan derby Torino v Juventus. Torino yang saat itu mendapat sebutan “Grande Torino” kalah 2-1 dari Juventus. Namun di akhir musim justru Torino berhasil juara. Pada jeda musim panas, sebuah peristiwa penting terjadi di Juve pada 22 July 1945, Giannin Agnelli mengambil alih posisi presiden klub, meneruskan tradisi keluarga Agnelli. Dalam kepempinannya, Agnelli mendatangkan Giampiero Boniperti dalam jajaran staffnya. Ditambah amunisi baru seperti, Muccinelli dan tombak asal Denmark John Hansen.
1949 - 1957 GELAR PERTAMA BONIPERTI
Gelar juara telah diukir
Musim panas 1949, tragedy menimpa Torino. Para anggota tim mereka tewas dalam kecelakaan pesawat yang dikenal dengan “tragedy Superga”. Hal ini membuat Juventus mengambil alih kekuasaan liga. Dengan kedatangan skuad baru seperti, kiper Giovanni Viola, bek Bertucelli,Piccini, dan penyerang Vivolo, mereka mencoba merebut juara liga. Setelah merengkuh serangkaian kemenangan, pada 5 februari 1950 mereka menderita kekalahan telak 7-1 dari AC Milan di depan public sendiri. Namun, Juve berhasil bangkit dan berhasil memenangi gelar liga ke 8 mereka 4 minggu sebelum musim usai dengan torehan 100 gol/musim dan kemasukan 43; penyerang Hansen menjadi top skorer dengan 28 gol.
Martino pergi, Juve lakukan tur ke Brazil
Tahun berikutnya keadaan sedikit memburuk dengan hengkangnya sayap mereka, Martino ke Argentina. Lalu, perjalanan mereka di liga domestik tidak mulus dan banyak membuang poin di pertandingan mudah. Bulan Juni, mereka melakukan tur uji coba ke Brazil dan mencapai final sebelum kalah dari Palmeiras di Maracana.
Gelar di tahun 1952 bersama pemain Hungaria Sarosi
Juve mengganti manajer mereka dengan pria Hungaria, Sarosi. Di tahun ini, Juve berhasil memenangi scudetto ke 9 mereka dengan koleksi 60 poin, 98 gol dan 34 kemasukan. Dua musim berikutnya skuad bertambah kuat namun mereka harus merelakan elar liga kepada Inter karena banyaknya pemain yang cedera dan kondisi tim yang tidak kondusif.
Puppo dan para pemain muda
Gianni Agnelli meninggalkan klub pada 18 September 1954. Tahun ini periode gelap Juve dimulai dengan hanya mampu finish di posisi 7. Musim berikutnya, di bawah arahan manajer Puppo yang mengandalkan skuad muda Juve mulai mencoba bangkit. Setelah serangkaian kekalahan karena skuad yang belum matang, pada November 1956 kabar baik berembus dengan masuknya Umberto Agnelli sebagai komisioner klub. Skuad menjadi kuat dengan kedatangan beberapa pemain hebat seperti Omar Sivori dan John Charles.
1957 - 1961 CHARLES AND SIVORI
Sivori dan Charles (1957 - 1961)
Kedatangan kedua pemain di atas menjadikan Juve semakin solid di bawah arahan manajer Ljubisa Brocic. Musim 1957-58 Juve meraih gelar juara ke-10 dengan kontribusi Sivori dan Charles. Charles juga dinobatkan sebagai top skorer dengan 28 gol. Musim berikutnya berjalan sebaliknya. Juve bermain inkonsisten dan hanya mampu finish di posisi 4, walau berhasil meraih gelar Piala Italia.
Kembalinya Cesarini
Renato Cesarini yang pernah menangani klub pada musim 1959-1960 kembali ke klub. Dan hasilnya bisa ditebak, Juve merebut kembali scudetto ke-11 mereka dengan 55 poin. Sivori kembali hebat dengan raihan 27 gol.
Musim 1960-1961 penuh dengan kejutan. Juve kedatangan lawan berat, Inter di bawah asuhan pelatih legendaries Helenio Herrera. Paruh pertama musim merupakan kabar buruk bagi Juve. Namun di paruh kedua mereka membuat kejutan dengan berhasil mempertipis jarak menjadi 1 poin dengan pimpinan klasemen,Inter. Di pertandingan penentu, Juve mengalahkan Inter dalam perebutan scudetto. Juve juara untuk ke-12 kalinya.
1961 - 1969 TAHUN “MOVIMIENTO” (MOVEMENT/PERGERAKAN)
Perpisahan Boniperti dan lahirnya formasi 4-4-2
Musim ini jadi musim terakhir Boniperti. Juve mencoba peruntungan di kejuaraan Eropa namun terhenti oleh Real Madrid. Umberto Agnelli tinggalkan klub dan digantikan oleh seorang insinyur bernama Vittore Catella. Agustus 1962, Amaral dari Brazil menjadi manajer dan Juve bermain dengan formasi anyar 4-4-2. Namun di liga, mereka terpuruk di urutan kedua di bawah Inter.
Piala Alps dan perpisahan Sivori
Musim panas 1963, Juve merebut Piala Alps, gelar internsional pertama mereka, di Swiss. Amaral hengkang digantikan oleh Eraldo Monzeglio dan pada 1964 diganti lagi oleh orang Paraguay, Heriberto Herrera. Ia menerpkan latihan keras dan suatu pola baru yang yakni moviento (pergerakan tanpa bola). Mereka berhasil merebut Piala Italia. Musim selanjutnya, Sivori pindah ke Napoli dan Juve berjuang di papan atas namun mengakhiri kompetisi di posisi kelima.
Musim 1966, Juve merebut gelar ke-13 mereka di saat-saat akhir dengan menyalip Inter Milan. Mereka juga bermain di kompetisi Eropa namun kembali gagal.
1969 - 1976 AWAL TAHUN 70-AN
Awal tahun 70-an
1969: pelatih Heriberto Herrera digantikan Luis Carniglia dan beberapa pemain baru, Marchetti, Morini, Furino, Roberto Vieri dan Lamberto Leonardi, direkrut. Tim berjuang dari awal untuk beradaptasi dengan taktik baru. Setelah beberapa lama, terjadi perubahan besar di tim, Boniperti naik sebagai Direktur Pelaksana dan Italo Alodi sebagai Direktur Umum sementara Ercole Rabitti menggantikan Carniglia. Tim mulai beranjak naik memperbaiki posisi dan berusaha mengejar Cagliari dengan berhasil menorehkan 8 kemenangan beruntun. Namun hal itu sudah terlambat karena Cagliari dengan andalannya Gigi Riva hanya butuh hasil seri saat melawan Juve untuk meraih titel dan mereka berhasil melakukannya.
Pada musim selanjutnya, tim dirombak. Haller dan Salvadore menjadi satu-satunya pemain yang dipertahankan dan Juve merekrut beberapa pemain muda seperti, Spinosi, Capello dan Landini dari Roma. Sementara itu, Franco Causio dan Roberto Bettega pulang dari masa pinjamannya di Palermo dan Varese. Armando Picchi didaulat sebagai manajer tim namun tidak lama kemudian ia mengundurkan diri karena sakit.
Paruh pertama musim, Juve belum stabil dalam permainan dan di paruh kedua mereka berhasil kembali ke performa terbaik terutama saat mencapai final Fairs Cup (cikal bakal Piala UEFA) namun kalah dari Leeds United. Saat itu, Juve ditangani manajer Vycpalek. Musim 1971/72, pekan ke-4, Juve kalahkan AC Milan 4-1 di San Siro ditandai permainan apik Bettega dan Causio. Namun beberapa saat kemudian, mesin gol Bettega harus istirahat karena sakit dan posisi pertama klasemen milik Juve menjadi terancam. Untungnya mereka berhasil konsisten dan merebut scudetto ke-14 mereka.
Musim selanjutnya mereka kedatangan kiper legendaries Dino Zoff dan Jose Altafini dari Napoli. Di musim ini, Juve dihadapkan pada jadwal pada Liga dan kompetisi Eropa. Setelah berjuang samai menit akhir, Juve berhasil menyalip AC Milan, yang secara mengejutkan kalah dipertandingan terakhir mereka, dan merebut scudetto ke-15. Namun, di kompetisi Eropa, mereka kalah dari Ajax yang domotori Johan Crujff di Final Piala Champions di Belgrade.
Kembalinya Parola
Musim 1973/74: Juve mengawali musm dengan buruk, dan ditambah tereliminasi di kompetii Eropa walau telah merekrut Claudio Gentile dari Varese. Di akhir musim, Juve finish kedua di bawah Lazio. Akan tetapi di tahun berikutnya, Juve kembali ke puncak. Setelah kembalinya eks pemain mereka Carletto Parola sebagai manajer ditambah pemain baru, Damiani dan Scirea, Juve merebut scudetto pada 18 Mei saat menhancurkan Vicenza 5-0. di musim 1975/76, keadaan sama persis: Juve memimpin dan tim lain berusaha mengejar, diantaranya Torino. Setelah musim berjalan mendekati akhir, Juve kehilangan konsentrasi dan terpaksa merelakan gelar kepada Torino.
1976 - 1982 GELAR TRAPATTONI
Rekor Gelar
1976-77. Torino sebagai juara bertahan mendapat lawan sepadan dari Juventus yang hampir seluruh timnya dirombak. Trappattoni masih menjadi manajer klub dengan Boninsegna dan Benetti sebagai pemain baru menggantikan Anastasi dan Capello. Juventus memulai musim dengan baik namun Torino berhasil menyalip pada saat keduanya betemu di derby. Akan tetapi, pada pekan 12, Juventus berhasil menyamakan poin dengan Torino. Keduanya bertarung ketat hingga akhir musim. Pada pekan ke 26, poin kedua tim sama dan pekan berikutnya Juventus berhasil unggul satu poin dan mempertahankannya sampai akhir musim. Pada akhir musim, melalui gol Bettega dan Boninsegna saat melawan Sampdoria membuat Juventus merebut scudetto dengan 50 poin unggul 1 poin atas Torino. Beberapa hari sebelumnya, Juventus baru saja memenangi Piala UEFA pertama mereka dengan mengalahkan Bilbao.
1978, masih pertama
Musim berikutnya, 1977-1978, Juventus yang ikut serta kembali di kejuaraan Eropa, mendatangkan beberapa muka baru seperti, Virdis, Fanna, dan Verza. Juventus bermain konsisten dan hanya Vicenza yang menguntit mereka. Paruh pertama musim, Juve unggul 2 poin dari Torino, 3 poin dari Vicenza, dan 4 poin dari AC Milan. Setelah itu mereka bermain dengan baik dan bermain seri saat derby, menahan 2-2 Inter Milan setelah tertinggal 2-0 pada 8 April. Akhirnya, hasil imbang dengan Roma satu pekan sebelum akhir musim membawa mereka merengkuh scudetto ke 18 mereka.
Dua tahun masa transisi
Musim panas musim 1978, Juventus kehilangan kesempatan untuk merekrut Paolo Rossi, salah satu pemain terbaik Piala Dunia asal Argentina, dari Vicenza. Musim ini tidak seperti musim sebelumnya dimana mereka memulai musim dengan buruk baik di liga maupun di kejuaraan Eropa. Juventus berhasil mencuri 3 poin dari AC Milan dengan kemenangan 1-0 namun sesudahnya mereka kembali bermain tidak konsisten dan akhirnya menyerahkan gelar juara ke tangan AC Milan. Pada musim selanjutnya, Juventus merekrut Bodini, Tavola, Prandelli, dan Marocchino dari Atalanta. Paruh pertama musim, Juve berada di papan tengah namun berhasil mengejar Inter dengan empat kemenangan beruntun. Akan tetapi, Inter akhirnya sulit dikejar dan sekali lagi gelar juara lepas dari genggaman. 1980-1981, Juventus mulai membangun kekuatan di awal bulan Desember dengan menahan seri Roma 0-0. Pekan ke-20, Roma berhasil menguntit Juve di posisi puncak dan Napoli juga mengejar.
Pada 10 Mei, Juve dan Roma bermain seri dalam pertandingan yang sarat kontroversi, dan setelahnya Juve berhasil menang atas Napoli dan Fiorentina sekaligus merebut gelar di detik-detik terakhir.1981-82, salah satu musim terbaik Juve. Dimulai dengan enam kemenangan beruntun, Juve mulai meninggalkan jauh lawan-lawannya. Namun, akibat serangkaian hasil buruk mereka mulai kedodoran. Pada akhirnya, Juve dan Fiorentina yang mempunyai poin sama hingga sampai pekan terakhir mereka harus memainkan partai penentu. Di pertandingan itu, Juve berhasil menang atas Catanzaro melalui penalty Liam Brady sedang Fiorentina ditahan seri Cagliari. Dengan hasil ini, Juve kembali merebut scudetto.
1982 - 1986 ERA PLATINI
Kekecewaan di Athena
Setelah 6 pemainnya ikut andil dalam timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia 1982, ditambah dengan kedatangan mega bintang Prancis Michele Platini, Juventus kembali difavoritkan di musim 1982-83. Namun Juventus yang juga disibukkan dengan jadwal kejuaraan Eropa memulai kompetisi dengan lambat. Hal itu ditunjukkan dengan menelan kekalahan dari Sampdoria di pertain pembuka musim serta menag dengan tidak meyakinkan atas Fiorentina dan Torino. Sementara di Eropa, mereka berhasil menyingkirkan Hvidovre (Denmark) dan Standard Liege (Belgia) di penyisihan. Akan tetapi, Juventus kembali ke trek juara di musim dingin bersamaan keberhasilan mereka menembus perempat final Liga Champions. Selanjutnya, kemenangan atas Roma melalui 2 gol dari Platini dan Brio membuat jarak keduanya berselisih 3 poin dengan Roma di posisi puncak. Namun, karena konsentrasi Juve terpecah antara Serie A dan Liga Champions akhirnya tidak berhasil mengejar AS Roma yang menjadi juara. Juventus seharusnya bisa menumpahkan kekecewaannya di Liga saat mereka bertemu Hamburg di final Liga Champions tapi hal itu tidak terjadi. Berada di posisi kedua di kompetisi domestic dan Eropa, Juventus akhirnya berhasil merebut gelar penghibur saat menjuarai Piala Italia dan Piala Interkontinental.
1984- Sejarah gelar ganda
Musim panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung sepatu di usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada untuk mengakhiri karirnya di sana. Pemain lain seperti Fanna, Galderisi, Morocchino dan Virdis juga meninggalkan klub. Juve merekrut kiper baru dari Avellino: Stefano Tacconi dan Beniamino Vinola dari klub yang sama. Sementara Nico Penzo menjadi pendampong Rossi di lini depan. Juve pada saat itu berkonsentrasi penuh di dua kompetisi, Liga dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang musim, Juve merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai. Dan gelar ini ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan Porto 2-1 di Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan merupakan prestasi bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.
Raja di kompetisi Eropa
1984-85. Juve kedatangan banyak muka baru diwakili Briaschi dan Favero. Namun permainan mereka menjadi inkonsisten. Kekalahan dari Inter pada 11 November membuat mereka memutuskan untuk berkonsentrasi di Eropa. Pada bulan Januari, Juve merengkuh gelar Piala Super Eropa setelah mengandaskan Liverpool 2-0. Di Liga Champions, Juve berhasil melaju sampai final. Kembali ke liga, kemenangan Juve atas Inter dan Torino membuat Verona, tim kejutan musim itu, menjuarai liga. Dan akhirnya pada 29 Mei 1985, bertempat di Bruxelles, Juve mementaskan partai final Liga Champions. Setelah sebelumnya diwarnai tragedi berdarah antar supporter, Juve akhirnya berhasil meraih trofi Eropa melalui penalty Michael Platini di malam yang penuh dengan tragedi.
1985-86. Juve memulai musim dengan sempurna melalui 8 kemengan beruntun. Hasil ini membuat persiapan mereka di Piala Interkontinental pada 8 Desember di Tokyo, Jepang menjadi maksimal sekaligus merebut gelar di sana. Di liga, Juve bersaing ketat dengan Roma hingga poin keduanya sama di sisa 2 pekan terakhir. Namun kejutan terjadi saat Roma menelan kekalahan dari tim yang sudah terdegradasi, Lecce sementara Juve menang atas AC Milan. Pekan terakhir tidak merubah apapun dan Juve merebut gelar juara liga dengan Platini menjadi top skorer klub dengan 12 gol.
1986 - 1990 JUVENTUS ARAHAN ZOFF: RATU PIALA
Musim terakhir Platini
1986-87. Trapattoni meninggalkan Juventus dan bergabung ke Inter setelah melatih selama 10 tahun. Posisinya digantikan oleh Rino Marchesi. Dampaknya, beberapa perubahan terjadi di skuad Juve; Vignola kembali dari masa pinjaman, bek Solda direkrut dari Atalanta dan bocah 17 tahun Renato Buso didatangkan dari tim junior klub. Sementara ikon klub, Platini yang kelelahan sehabis membela negaranya di Piala Dunia Meksiko menandatangani kontrak 1 tahun dan akan pensiun saat kontraknya berakhir pada akhir musim. Di liga, Juve memulainya dengan 3 kemenangan dan hasil seri lawan AC Milan. Sementara di Liga Champions, setelah melewati hadangan klub medioker Valur, Juve bertemu lawan super berat, Real Madrid yang dihuni oleh bintang-bintang seperti Butragueno, Sanchis dan Gordillo. Juve pun akhirnya menyerah melalui adu penalti. Kembali ke liga, Juve masih terkena dampak tereliminasi di kejuaraan Eropa dan menelan kekalahan dari Napoli yang saat itu diperkuat megabintang Diego Maradona. Hasil ini menjadi factor penentu karena saat keduanya kembali bertemu di San Paolo, Juve kembali kalah dan gelar Scudetto direbut Napoli yang merupakan gelar pertama bagi mereka. Musim itu, Juventus finish di posisi kedua.
Dari Rush hingga kembalinya Zoff.
1987-88. Setelah kehilangan Platini, Juve juga kehilangan Lionel Manfredonia yang kontraknya tidak diperpanjang serta Aldo Serena yang kembali ke klub lamanya, Inter. Sementara itu, pemain baru banyak berdatangan seperti Alessio dan Bruno dari Como, Tricella dan De Agostini dari Verona, dan Magrin dari Atalanta serta yang paling utama: Penyerang tengah Wales Ian Rush dari Liverpool.
Akan tetapi, musim ini merupakan kekecewaan bagi Juventus. Setelah tereliminasi dari UEFA Cup di musim gugur, Juventus tersendat di liga. Akhirnya, dengan susah payah mereka berhail merebut tiket ke Eropa setelah menang adu penalti di play-off lawan Torino.
1988. Dino Zoff meninggalkan posnya di timnas Olimpiade Italia dan bergabung sebagai manajer baru Juventus. Sementara, Ian Rush, Vignola, Alessio dan Bonini dijual ke klub lain. Posisi mereka digantikan pemain baru seperti Rui Barros asal Portugal, Altobelli, pemain muda menjanjikan Marocchi, dan pemain Rusia pertama di Italia, Alexandr Zavarov. Musim dimulai, Juve langsung melesat sebelum akhirnya takluk dari Napoli 5-3. untuk beberapa saat, Juve membuntuti dengan ketat posisi puncak dan akhirnya kehilangan konsentrasi. Hal itu karena mereka harus membaginya dengan perjuangan mereka di Piala UEFA saat bertemu sesame Italia, Napoli di perempat final. Hasilnya, mereka tersingkir di babak perpanjangan waktu dan harus puas di posisi 4 klasemen liga.
Gol-gol Schillaci
1989-90. Juve merekrut pemain baru diantaranya: pemain timnas Rusia, Alejnikov, penyerang Schillaci dan Casiraghi, mantan bek timnas Dario Bonetti dan gelandang Fortunato. Sementara, Laudrup, Mauro, Magrin dan Favero dilego. Pemain baru yang menjadi perhatian adalah Schillaci. Atas kontribusinya, Juve melesat memimpin klasemen liga sebelum mereka kalah dari AC Milan. Walau berhail bangkit dengan menaklukkan Inter dan membalas AC Milan 3-0, pada akhir kompetisi mereka hanya mampu finis ketiga di belakang Napoli dan AC Milan. Namun keadaan berbalik 180 derajat di kompetisi Eropa. Tim arahan Zoff ini berhasil sampai ke final UEFA Cup untuk bersua tim sesame Italia, Fiorentin dalam all Italian final. Hasil akhir, Juve merebut gelar Piala UEFA kedua mereka dan menambahnya dengan gelar juara Piala Italia setelah mengalahkan AC Milan di final pada25 April melalui gol Galia.
1991 - 1994 AWAL TAHUN 90-AN
Maifredi yang meragukan
Piala Dunia yang berlangsung di Italia memunculkan nama bintang Juventus, Toto Schillaci sebagai pahlawan. Juve sendiri memulai musim kompetisi dengan menderita kekalahan telak dari Napoli 5-1 pada ajang Piala Super Italia. Pada musim ini, terjadi beberapa perubahan dimana Luca Cordero di Montezemolo ditunjuk sebagai wakil presiden. Juve mempunyai manajer baru bernama Gigi Maifredi dan skuad kedatangan pemain seperti Roberto Baggio, Thomas Haessler asal Jerman, bek Brazil Julio Cesar, Di Canio, Luppi dan De Marchi serta pemain muda potensial Corini dan Orlando.
Di musim ini, AC Milan menjadi klub yang menghentikan ambisi Juve menjadi juara. Di sisa akhir musim, mereka kalah dari Sampdoria di Marassi dan untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka gagal lolos ke Eropa setelah hanya mampu bertengger di posisi ketujuh klasemen. Sementara di Piala Winner, Juventus terhenti di semifinal dari tangan Barcelona.
Kembalinya Trapattoni dan direkrutnya Kohler
Musim panas 1991 menjadi saksi kembalinya Giampiero Boniperti sebagai presiden Juventus. Sementara Trapattoni kembali menjadi manajer dan membawa beberapa perubahan di tim dengan keluarnya Haessler dan Fortunato. Sementara Juve membeli pemain asal Jerman Juergen Kohler dan Steffan Reuter selain Carrera, Conte, dan kiper muda Peruzzi. Dengan lini pertahanan yang kembali solid, Trap berhasil membawa Juve memuncaki klasemen liga. Selanjutnya, mereka bermain konsisten dan berhasil menahan imbang AC Milan. Akan tetapi, petaka dating saat mereka kalah dari Sampdoria dan meraih rentetan dua hasil imbang. Hal ini membuat AC Milan menyalip mereka dan menjauh. Juve finis di posisi kedua klasemen. Hal yang sama terjadi di Piala Italia dimana setelah berhasil menyingkirkan AC Milan di semifinal, mereka kalah dari Parma di final.
Piala UEFA, Vialli dan Roberto Baggio
Juve memulai musim ’92-’93 dengan target sama di musim sebelumnya. Nama besar seperti Schillacci, Tacconi dan Julio Cesar keluar dari tim. Sementara, Gianluca Vialli datang dari Sampdoria bersamaan dengan Moeller, Platt, dan Ravanelli serta Dino Baggio. Peruzzi dipromosikan sebagai kiper utama dan pemain berpengalaman Rampulla sebagai kiper cadangan. Namun, Juve tetap kehilangan konsistensi seperti musim lalu. AC Milan berhasil merebut banyak poin dan Juve tidak mampu mengejar mereka. Juve akhirnya berkonsentrasi penuh di Piala UEFA. Hasilnya tidak pun mengecewakan. Mereka melaju sampai final setelah sebelumnya mengalahkan PSG yang diperkuat George Weah. Di final yang memainkan system Home and Away, mereka tidak menemui kesulitan melawan klub Jerman, Borussia Dortmund dan trofi ketiga Piala UEFA masuk ke lemari klub. Sementara di liga, Juve finis di posisi empat dibelakang Inter dan Parma serta AC Milan yang menjadi juara.
Musim 1993-94, Juve memulainya dengan baik dan berhasil menundukkan Sampdoria yang diprkuat Ruud Gullit serta memenangi derby dengan Torino 3-2. Juve makin mantap mengejar posisi puncak melalui gol-gol Roberto Baggio, Moeller dan Ravanelli. Namun, setelah permainan spektakuler di paruh partama liga, Juve ditaklukkan pemuncak klasemen AC Milan dan hasil ini membuat mereka gagal menyalip dan melepas gelar juara ke klub kota Milan tersebut. Akan tetapi, di bagian akhir musim, pemuda 19 tahun milik Juve bernama Alessandro Del Piero memainkan partai debut di tim utama dan mencetak gol perdananya saat melawan Genoa. Hasil manis didapat Juve di akhir-akhir kompetisi dengan mengalahkan Inter 1-0 dan Lazio 6-1 untuk memastikan posisi runner-up.
1995 - 1998 KEMENANGAN LIPPI
1995, Debut Lippi
Musim panas 1994, Marcelo Lippi ditunjuk sebagai manajer baru Juventus. Ferrara, Paulo Sousa dan Deschamps merupakan wajah baru tim sedangkan Del Piero dipromosikan dari tim junior. Musim dimulai dengan cukup baik, dimulai dengan hasil imbang dan 2 kemenangan atas Bari dan Napoli. Lalu kemenangan dalam pertandingan yang cukup alot melawan Sampdoria lewat gol tunggal Di Livio. Juve mengakhiri paruh pertama musim dengan memimpin klasemen. Di paruh kedua, keadaan menjadi lebih baik bagi tim, dengan kemenangan tandang atas Sampdoria dan AC Milan, Juve terlihat akan memenangi liga dengan mudah. Namun, hal itu menjadi berantakan akibat tiga kekalahan beruntun yang membuat Parma berhasil menguntit ketat. Walau begitu, Juve berhasil lolos dari kejaran Parma saat keduanya bertemu di Delle Alpi dan Juventus meraih kemenangan mutlak 4-0 sekaligus memastikan gelar juara. Parma terbukti menjadi lawan tangguh saat itu dimana keduanya kembali bertemu di final Piala UEFA. Saat itu giliran Juventus yang harus menyerah. Juventus membalas di Piala Italia saat Vialli dkk. mengalahkan Parma di pertemuan mereka yang ke-2 di final.
Musim berikutnya, Juventus harus kehilangan Kohler yang kembali ke Jerman dan menggantikannya dengan bek berumur namun penuh pengalaman, Vierchowood. Kali ini mereka berkonsentrasi di kompetis domestik dan Eropa. Hal ini membuat perjalanan mereka di liga agak tersendat. Dan, setelah imbang 1-1 dengan AC Milan, mereka memutuskan untuk berkonsentrasi penuh di Liga Champions. Setelah menyingkirkan Madrid di perempatfinal dan Nantes di semifinal, mereka berjumpa Ajax pada 22 Mei 1996. Di pertandingan tersebut, kedua tim yang bermain imbang 1-1 selama 120 menit, hasil akhir harus ditentukan dengan duel adu penalty. Juventus menang 4-2 dan berhasil mengangkat trofi Liga Champions yang mereka idamkan. Setelahnya, mereka berhasil menambah trofi setelah merebut Piala Super Italia di bulan Januari, saat mengandaskan Parma 1-0 di Delle Alpi.
1997, Dari Boksic ke Vieri
Musim panas 1996 membawa beberapa perubahan bagi Juventus. Vialli dan Ravanelli pergi, dan Boksic, Vieri dan Amoruso menggantikan posisi mereka. 2 pembelian penting ada di posisi bek dan gelandang serang melalui Montero dan Zidane. Di musim ini, Juve berhasil meraih Piala Interkontinental di Tokyo, setelah gol tunggal Del Piero berhasil menyudahi perlawanan wakil Argentina, River Plate. Trofi bertambah setelah Juve meraih Piala Super Eropa saat membungkam wakil Prancis, Paris St. Germain. Kembali ke liga, dengan diwarnai kemengana sensasional 6-1 atas AC Milan, mereka kembali meraih scudetto setelah hasil imbang lawan Parma di Delle Alpi. Sayangnya, hasil ini tidak diikuti di Liga Champions dimana mereka kalah di final yang berlangsung di Munich oleh wakil Jerman Borussia Dortmund yang diperkuat mantan pemain mereka, Moeller dan Paulo Sousa.
1998, Del Piero dan Inzaghi: lumbung gol Juve
Pippo Inzaghi dan Edgar Davids merupakan pemain anyar Juventus di musim ’97-’98. Rival terberat mereka saat itu ialah Inter Milan yang diperkuat pemain terbaik dunia, Ronaldo. Hasil penentu terjadi saat lima kemenangan beruntun, dan hasil positif lawan AC Milan (4-1) dan gol semata wayang Del Piero dari titik putih saat lawan Inter membuat mereka secara matematis memenangi scudetto dua pekan sebelum musim berakhir. Sementara kejadian musim lalu terulang di Liga Champions saat mereka takluk dengan skor tipis 0-1 dari Real Madrid.
1999 - 2001 MASA KEPEMIMPINAN ANCELOTTI
Dari Lippi ke Ancelotti
Musim1998-1999: Juventus tidak banyak berubah namun para rival mereka, Inter dan AC Milan serta Lazio memperkuat skuadnya. Setelah memenangi dua pertandingan pertama, mereka kalah dari Parma namun berhasil bangkit dengan menglahkan Inter untuk kembalim memimpin klasemen. Pada 8 November saat bersua Udinese, Juve yang unggul 2-0 harus rela kehilangan 3 poin di menit-meint akhir. Situasi bertambah parah karena kapten tim, Del Piero cedera parah dan harus absen di sepanjang musim. Hasilnya bisa ditabak, permainan tim anjlok dan Juve hanya bisa berkutat di papan tengah walau saat itu sempat membeli Juan Esnaider dan Thierry Henry yang masih belia. Dan, hanya 2 kemenangan atas Lazio dan Fiorentina yang membuat posisi mereka aman di papan tengah. Di sisi lain, Juve harus rela bermain di Piala InterToto akibat kalah di play-oof lawan Udinese. Di akhir musim yang buruk ini, Lippi mengundurkan diri dan diganti Carlo Ancelotti yang sebelumnya sukses bersama Parma.
Selanjutnya di musim panas 1999, Juve memulai petualangan di bawah arahan Ancelotti di Piala InterToto. Beberapa nama baru direkrut: kiper asal Belanda, Van Der Sar, sayap belia Zambrotta, pemain Nigeria Oliseh dan bomber Serbia Darko Kovacevic. Seterusnya, setelah start di awal musim yang baik, Juve berhasil meneruskan performanya dengan mengandaskan Roma dan Inter Milan dan berhasil memimpin klasemen. Di lain pihak, Lazio menjadi rival terberat saat itu. Saat keduanya bertemu di Delle Alpi, pada 1 April 2000, mereka kalah dan terus kehilangan poin setelahnya. Akibatnya, posisi puncak diambil alih Lazio. Di pekan terakhir, Juve bertandang ke Perugia. Di pertandingan yang diwarnai hujan lebat, Juve harus menyerah dan membiarkan Lazio menyalip mereka ke tangga scudetto.
Musim berikutnya tidak jauh berbeda. Dengan Ancelotti masih memberi arahan dari bangku cadangan, Juve membeli penyerang asal Prancis David Trezeguet dari Monaco. Kompetisi saat itu didominasi oleh tim asal Roma lainnya, AS Roma. Juventus bermain inkonsisten dan meraih terlalu banyak hasil imbang. Akibatnya, Juve tidak berhasil mengejar Roma. Di saat keduanya berjumpa pada 6 Mei, Juve yang telah unggul 2-0 berhasil dikejar dan hasil akhir menjadi imbang 2-2. Sesudahnya, walau berhasil memenangi 5 pertandingan terakhir, Juventus tetap tidak bisa mengejar dan Roma menjadi juara dengan 75 poin, unggul 2 poin atas mereka. Sementara bomber anyar Juve, Trezeguet menjadi satu-satunya hal positif dengan berhasil mencetak 14 gol di sisa 6 pertandingan terakhir.
2002 - 2003 MEMASUKI MILLENIUM BARU
2002, Juve salip Inter Milan di detik-detik terakhir untuk meraih scudetto
Musim panas 2001: Juve merombak tim dengan Marcello Lippi kembali menangani tim. Buffon, Thuram, Nedved dan Salas merupakan pembelian terpenting saat itu. Namun, mereka harus kehilangan sang maestro, Zidane yang pindah ke Real Madrid.
Juventus memulai musim dengan 3 kemenangan namun terpeleset saat lawan Roma dan ditahan Torino 3-3. Setelah mengalami naik turun dan pada akhirnya tibalah saat penentuan. Di akhir musim, dua kemenangan atas Piacenza dan Brescia membuat jarak mereka dengan pimpinan klasemen Inter hanya tinggal 1 poin. Di pekan terakhir, Inter bertandang ke Lazio sedangkan Juve bertamu ke Udinese dan Roma, yang secara matematis masih bisa juara ditantang Torino di Delle Alpi. Hasilnya sungguh di luar dugaan: Juve tancap gas dan menutup pertandingan di lima belas menit awal, sedangkan Inter berjuang mengejar ketertinggalan atas Lazio namun hasil akhir tak berubah. Inter takluk dari Lazio dan Juve menjadi juara di detik-detik terakhir sekaligus menorehkan sejarah di scudetto ke-26 mereka.
2003, Nedved sang pemimpin
September 2002, juara bertahan Juventus memulai musim dengan beberapa perubahan. Mereka membeli Di Vaio di saat akhir penutupan transfer. Inter dan AC Milan memulai lebih baik namun pada bulan November mereka berhasil disalip. Juventus babat AC Milan 2-1 dan hancurkan Torino 4-0. Di penghujung musim, Juve menang atas Parma sedang Inter takluk dari Chievo dan Milan ditahan Lazio. Juve semakin dekat ke gelar juara saat mereka menang 3-1 atas Como dan 3-0 atas Inter arahan Cuper. Akhirnya, gelar juara itu diraih juga pada 10 Mei setelah hasil seri 2-2 dengan Perugia, 2 pekan sebelum musim berakhir, cukup membuat mereka merengkuh scudetto ke-27 mereka. Sementara itu, Juve hampir saja mencetak sejarah double winner saat berhasil menaklukkan Real Madrid untuk melaju ke final Liga Champions melawan AC Milan dalam All Italian Final. Sayangnya, tim asuhan Lippi tersebut kalah beruntung melalui adu penalty di final yang dilangsungkan di Old Trafford, Manchester itu.
Presiden Chiusano Wafat
Pada 15 Juli 2003, Juve membeli hak dari Stadion Delle Alpi untuk 99 tahun mendatang dari Dewan Kota Turin sehingga mereka berhak membangun stadion pribadi. Pada bulan Agustus, mereka berangkat ke USA untuk memainkan partai Piala Super Italia lawan AC Milan. Skor 0-0 setelah 90 menit, 1-1 setelah perpanjangan waktu, namun kali ini Juve memenangi duel adu penalty. Akan tetapi, kegembiraan klub tidak berlangsung lama. Sebuah kabar mengejutkan datang: Presiden klub Vittorio Caissotti di Chiusano meninggal dunia. Ia lalu digantikan oleh Franzo Grande Stevens, Wakil presiden dari FIAT. Setelah merengkuh Piala Italia, musim liga dimulai dengan buruk. Setelah bermain baik di paruh pertama musim, mereka tertinggal di belakang AC Milan dan AS Roma. Juventus juga kehilangan konsentrasi di Liga Champions, yakni tersingkir dari tim asal Spanyol Deportivo La Coruna dan juga gagal di final Piala Italia setelah kalah lawan Lazio. Di sisi lain, setelah kehilangan Chiusano, Juve juga kehilangan seorang figur penting klub: mantan presiden Umberto Agnelli meninggal pada 27 Mei 2004 akibat kanker paru-paru.
2004 - 2006 DUA GELAR TAMBAHAN
Emerson, Cannavaro dan Ibrahimovic
Musim panas 2004, Lippi pergi dan digantikan oleh Fabio Capello. Juve banyak merekrut pemain baru mulai dari Emerson (Roma), Cannavaro (Inter), Blasi (Parma) dan pemain Prancis Zebina (Roma) serta yang terpenting ialah bomber Swedia Ibrahimovic (Ajax). Juve memulai kompetisi dengan baik; Brescia ditaklukkan, Atalanta dan Sampdoria tidak berkutik dan satu hasil seri sebelum rentetan kemenangan. Di akhir November, Juve kehilangan 3 poin saat Inter berhasil mengejar ketertinggalan 0-2 menjadi 2-2 dan juga saat ditahan tim sekota Inter, AC Milan pada 18 Desember. Namun terlepas dari hasil ini, laju Juventus tak terhentikan. Kemenangan tandang atas AS Roma mendekatkan mereka ke gelar juara. Tapi Juve tersendat setelah kalah dari Inter di kandang dan pertandingan lawan AC Milan pada 8 Mei menjadi penentu gelar juara. Juventus menang melalui gol Trezeguet sekaligus merebut scudetto dengan unggul 7 poin atas posisi kedua, AC Milan dan 14 poin atas posisi ketiga, Inter Milan.
9 kemenangan beruntun
Setelah menambah amunisi dengan mendatangkan Mutu dan Chiellini serta Vieira, Juve memulai musim 2005-2006 dengan performa lebih baik. Mereka berhasil membukukan 9 kemenangan beruntun sebelum berakhir di tangan AC Milan. Segera setelahnya, para pemain Juve menunjukkan performa apik di awal musim dengan menundukkan Roma 4-1 dan Fiorentina 2-1 sekaligus meninggalkan para pesaing terdekatnya. Pada Februari 2006, Juventus yang saat itu berada di posisi pertama memenangi pertandingan super penting lawan Inter. Mereka hanya butuh hasil imbang lawan AC Milan di pertandingan berikutnya untuk memastikan gelar juara.
Sementara itu di Liga Champions, mereka harus takluk di perempatfinal dari tangan Arsenal (finalis saat itu) 0-2 dan 0-0. Di sisi lain, pada sisa akhir musim, Juventus dinyatakan terlibat dalam sebuah investigasi yang melibatkan petinggi mereka, Luciano Moggi dan Antonio Giraudo. Hal ini terbukti dari terungkapnya beberapa percakapan telepon oleh kedua orang tersebut kepada petinggi Federasi Sepakbola Italia. Skandal ini terungkap media dan segera public mengenalnya dengan nama skandal Calciopolli. Sementara itu, Moggi mengundurkan diri dari klub sehari setelah liga berakhir diikuti dengan Giraudo beberapa hari kemudian. Hal ini membuat perubahan besar-besaran di jajaran manajemen klub. Giovanni Cobolli Gigli terpilih sebagai presiden klub, dan Jean-Claude Blanc menjabat rangkap sebagai Direktur Pelaksana dan Direktur Umum. Skandal Calciopolli terus terkuak dan Juventus didakwa turun kasta ke “divisi lebih rendah dari Serie B”. Juve juga kehilangan gelar scudetto musim 2004-2005 dan 2005-2006. Dan, setelah melalui beberapa proses investigasi, Juve akhirnya terdegradasi ke Serie B dengan pengurangan 30 poin di awal musim, yang mana dikurangi menjadi 17 dan, setelah mendapat rekomendasi Komite Olimpiade Nasional, berkurang menjadi “hanya 9 poin” untuk musim 2006-2007.
2006 - 2007 KEMBALI KE JALUR JUARA
Kedatangan Didier Deschamps
10 Juli 2006: Juventus yang harus bermain di Serie B akibat skandal Calciopolli mendapat seorang manajer baru sekaligus mantan pemain mereka, Didier Deschamps. Beberapa pemain banyak yang hengkang namun tak sedikit yan bertahan seperti: Buffon, Del Piero, Trezeguet, Nedved dan Camoranesi. Pelatih Prancis ini juga mempunyai stok pemain muda yang mumpuni dalam diri Paro, Marchisio, Palladino dan Giovinco.
Juventus memulai petualangan pertama mereka di Serie B dengan hasil yang kurang mulus. Hal itu disebabkan lantaran mereka buta akan kekuatan lawan, pun dengan pengurangan 17 poin di awal kompetisi. Baru pada pekan ketiga semua hal itu berubah dimana mereka berturut-turut mengalahkan Crotone, Modena, Piacenza, Treviso, Triestina, Frosinone dan Brescia. Hasil ini membuat mereka beranjak ke posisi teratas dan semakin mendekati zona promosi ke Serie A.
Akan tetapi, sebuah tragedi naas terjadi saat mereka tengah meretas jalan kembali ke Serie A. Pada 15 Desember 2006, tepat sebelum pertandingan antara Juve melawan Cesena, 2 pemain muda mereka yaitu gelandang Alessio Ferramosca dan kiper Riccardo Neri mengalami kecelakaan saat tenggelam di danau buatan tempat latihan klub, dan membuat mereka meninggal seketika. Dengan kesedihan mendalam atas kejadian ini, Juve kembali ke lapangan dan berhasil meraih kemenangan atas Bologna yang didedikasikan kepada kedua pemuda tersebut.
Di bagian akhir musim, Juve mulai nyaman memimpin klasemen. Selain itu, dua rival terberat mereka Napoli dan Genoa mereka taklukkan masing-masing 2-0 dan 3-1. Dan, pada 19 Mei 2007, kemenangan besar atas Arezzo membuat mereka secara matematis promosi ke Serie A dan diikuti dengan kemenangan kandang atas Mantova yang membuat mereka memastikan menjadi juara Serie B. Di lain pihak, Deschamps memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya dengan Juventus. Giancarlo Corradini dipilih menangani tim sampai akhir musim dan pada 4 Juni, Juventus mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan manajer baru: Claudio Ranieri.
2007 - 2008 KEMBALI KE PAPAN ATAS
Kedatangan Ranieri
Musim panas 2007: Claudio Ranieri terpilih sebagai manajer baru Juve yang beru saja kembali ke Serie A dan bertugas membawa kembali klub ke kasta teratas liga secepatnya. Sementera dalam hal skuad terdapat banyak nama baru. Di pertahanan ada nama Criscito, Andrade, Grygera, Molinaro, sementara Tiago, Almiron, Nocerino, Salihamidzic mengisi lini tengah dan penyerang haus gol, Vicenzo Iaquinta. Juve memulai musim dengan menghancurkan Livorno 5-1 dan menunjukkan kepada lawan determinasi dan ketajaman lini depan mereka. Sepekan setelahnya, determinasi kembali ditunjukkan Juve saat menaklukan Cagliari 3-2. Namun setelahnya, mereka terpeleset setelah kalah di kandang sendiri dari Udinese melalui gol tunggal Di Natale. Akan tetapi, kekalahan tersebut tidak menggoyahkan mental Juve dan di pekan selanjutnya mereka sukses menahan favorit juara AS Roma 2-2 dan membantai Reggina 4-0. setelahnya lebih manis, mereka memenangi derby pertama musim itu melalui gol tunggal Trezeguet.
Menahan sang pimpinan klasemen
Laju kemenangan Juve terhenti pada 27 Oktober, yaitu saat kalah dari Napoli. Namun kekalahan tersebut dinilai lebih berbau kontroversial karena keputusan wasit yang tidak memberi penalti. Sesudahnya, Del Piero dkk. dengan cepat bangkit dan membungkam Empoli 3-0 dan, dengan permainan yang brillian, menahan laju kemenangan beruntun sang juara bertahan Inter Milan 1-1.
2008, start lambat Juve
Pada awal 2008, Juve mulai kehilangan poin penting saat melawan Catania, Sampdoria dan Cagliari. Namun akhirnya kembali meraih kemenangan atas Udinese dan AS Roma. Di transfer paruh musim, Juve merekrut Sissoko dari Liverpool untuk menambah daya gebrak lini tengah mereka. Masuknya pemain ini membuat Juve berhasil mempersempit jarak hanya menjadi satu poin dengan posisi kedua, AS Roma. Namun, di Reggio Calabria, sebuah keputusan controversial wasit lagi-lagi membuat mereka takluk dari Reggina 1-2. Hasil ini membuat mental tim jatuh dan hasil imbang di derby dan takluk dari Fiorentina di kandang sendiri membuat posisi mereka untuk ke Liga Champions musim depan terancam. Akan tetapi, memasuki bulan Maret, situasi berubah positif. Diawali kemenangan atas Genoa, lalu Napoli, dan bahkan mereka berhasil mengalahkan pimpinan klasemen Inter Milan 2-1 dengan penampilan yang luar biasa.
Di akhir musim, Juve meraih hasil beragam. Kalah dari Palermo (diantaranya ditentukan oleh peforma bagus dari pemain masa depan Juve, Amauri), lalu menang atas AC Milan yang saat itu baru saja menjuarai Piala Dunia Antar Klub. Setelahnya, tiga kemenangan atas Parma, Atalanta dan Lazio mengamankan tempat ketiga buat mereka. Sementara kapten Juve, Del Piero ditahbiskan menjadi top skorer dengan 21 gol, satu gol lebih banyak dari tandemnya, David Trezeguet.